20.09.2022
Jakarta, 20 September 2022 – Warga Pulau Pari menggugat PT. Holcim atas kontribusinya terhadap dampak krisis iklim yang mengancam pulau dan penghidupannya. Ini adalah perusahaan industri semen yang merupakan komponen utama dari produksi beton. Produksi beton memiliki implikasi signifikan terhadap iklim.
Hingga hari ini, produksi beton di seluruh dunia telah meningkat tiga kali lipat sejak 1995. Produksi semen untuk bahan produksi beton ini, setidaknya telah melepaskan karbon dioksida dalam kuantitas yang cukup besar. Industri ini bertanggung jawab atas sekitar 8% (delapan persen) emisi global CO2 tahunan, yang digambarkan oleh Guardian Inggris sebagai “bahan paling destruktif di bumi” sejajar dengan perusahaan-perusahaan industri batu bara, minyak bumi, dan gas sebagai kontributor emisi utama di dunia. Oleh karena itu mereka dijuluki sebagai “Carbon Major”.
Merujuk hasil studi yang dilakukan oleh Institut Akuntabilitas Iklim, 70 persen dari keseluruhan sejarah emisi CO2 industri dapat ditelusuri kembali ke aktivitas 108 perusahaan penyumbang emisi dunia. Oleh karena itu, mereka memikul tanggung jawab besar atas pemanasan global dan konsekuensinya.
Grup Holcim Swiss termasuk dalam daftar “Carbon Major” tersebut, dengan penjualan hampir 27 miliar franc (2021), dan merupakan produsen bahan bangunan terbesar di dunia. Saat ini Holcim mengoperasikan 266 pabrik semen dan stasiun penggilingan di seluruh dunia, dan merupakan pemimpin pasar global untuk industri semen. Merujuk dari penelitian yang dimandatkan kepada HEKS/EPER, menunjukan bahwa antara tahun 1950 hingga 2021, Holcim telah memproduksi lebih dari 7 (tujuh) miliar ton semen. Pada 2021, perusahaan ini memproduksi 200 juta ton semen.
Sayangnya, alih-alih menjadi beban bagi negara-negara kaya asalnya di Utara, beban justru dirasakan oleh warga yang sangat jauh di Pulau Pari. Perubahan iklim telah menuntun tingginya permukaan air laut, badai, gelombang tinggi atau gelombang pasang, serta menyebabkan terjadinya cuaca ekstrim yang mengakibatkan banjir. Semakin tinggi suhu global, semakin sering dan ekstrim banjir yang terjadi. Ini mengancam eksistensial bagi pulau-pulau kecil dan daerah-daerah dengan pesisir dataran rendah.
Kejadian inilah yang nyata sedang dialami oleh warga Pulau Pari. Seberapa tingginya kenaikan permukaan air laut sangat bergantung pada emisi gas di masa depan? Panel Perubahan Iklim Antar Pemerintahan (IPCC) memperkirakan bahwa dengan terus meningkatnya emisi gas rumah kaca dapat menyebabkan naiknya permukaan air laut setinggi satu meter pada tahun 2100. Lebih dari 4 (empat) juta orang di Indonesia akan mengalami banjir tahunan. Dan ini bisa menjadi jauh lebih buruk, jika terjadi runtuhnya lapisan es di Antartika.
Bagi Pulau Pari, ini bukan pertanda baik. Sudah 11 persen permukaan pulau telah menghilang ke laut. Bahkan sebagian besar pulau dapat terendam pada awal tahun 2050. Hal ini menimbulkan ancaman berat bagi hak asasi manusia bagi warga Pulau Pari, mata pencahariannya akan hancur – pantai-pantai yang indah akan hilang, begitupun pariwisata lokalnya. Selain pariwisata, perikanan juga akan mengalami dampak yang sama. Bagaimanapun, keanekaragaman hayati adalah korban lain dari perubahan iklim. Tidak hanya itu, air sumur warga juga telah terkontaminasi air asin akibat kenaikan permukaan air laut.
PULAU PARI Mengambil Sikap!
Mustaghfirin (50 tahun) Ketua Forum Peduli Pulau Pari (FP3) yang juga berprofesi sebagai nelayan mengeluhkan kondisi cuaca yang sangat sulit ditebak “Berbeda dengan 6 sampai 7 tahun lalu dimana kami masih bisa memprediksi cuaca. Padahal, sebelum melaut, nelayan seperti kami harus membaca cuaca. Kondisi seperti sudah sangat merugikan kami, tidak jarang cuaca yang tadinya baik tiba-tiba di tengah perjalanan menjadi buruk sehingga memaksa kami untuk kembali ke pulau dan tidak melaut. Saya bahkan pernah hampir tenggelam karena gelombang yang tiba-tiba tinggi dan membuat perahu saya oleng.” Keluhnya.
Lebih lanjut Bobby, sapaan akrab Mustaghfirin, juga mengkhawatirkan tentang ancaman dan memiliki ketakutan untuk melaut, terlebih dengan jarak di atas 15 mil. “Kami takut nyawa kami terancam akibat cuaca yang bisa berubah secara tiba-tiba. Kami lahir dan tidak akan meninggalkan Pulau Pari.” Tegasnya sembari mengeluhkan hasil tangkapan terus berkurang. Beberapa jenis ikan sudah sulit ditemui seperti kakap merah, jenidin, masidung, bawal, cakalang, lamadang. Alhasil, pendapatan pun ikut berkurang.
Senada dengan Bobby, Edi Mulyono (37 tahun) menuturkan Pulau Pari yang sudah terancam tenggelam “Air laut terus naik, banjir rob terjadi semakin sering dan semakin besar. Banjir rob pada 2019 dan 2020 bahkan menjadi rob paling besar yang pernah terjadi selama pulau ini ditinggali. Akibat dari krisis iklim ini warga harus selalu waspada, beberapa sumur bahkan sudah tidak bisa digunakan karena tercemar air laut. Warga di bagian barat dan di RT 1 juga harus meninggikan rumahnya setiap tahun.” Tegas Edi yang berprofesi nelayan juga mengelola sebuah guesthouse untuk wisatawan.
Masyarakat Pulau Pari menyadari ancaman yang menanti mereka. mereka khawatir: “Pulau kami akan tenggelam, dimana kita akan tinggal?”Bobby, Arif, Edi dan Asmania mencari keadilan atas nama seluruh Pulau Pari. Mereka telah memutuskan untuk mengambil tindakan hukum terhadap perusahaan yang telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perubahan iklim dan juga penderitaan lebih dari seribu jiwa lainnya di Pulau Pari.
Gugatan ini sesungguhnya mempertanyakan sejauh mana tanggung jawab dari Holcim sebagai pemimpin pasar industri semen di dunia yang berkontribusi signifikan terhadap perubahn iklim. Panel Perubahan Iklim Antar pemerintah (IPPC) merekomendasikan pengurangan emisi keseluruhan sebanyak 43 persen pada tahun 2030. Hanya dengan cara inilah harapan untuk mencapai target yang dimuat dalam Perjanjian Iklim Paris, yaitu membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat dapat tercapai. Alih-alih turut mengupayakan, Holcim justru menetapkan target pengurangan relatif dalam “net zero” 2021 dengan memangkas emisi per tonnase dari semen yang diproduksi Holcim. Hal ini menjadi tidak masuk akal, jika Holcim meningkatkan produksi semennya, maka emisi secara keseluruhan kemungkinan besar akan turut meningkat. Lihat saja pada 2021, perusahaan ini telah memproduksi 200 juta ton semen yang artinya justru meningkat 7 % (tujuh persen) pada tahun 2021.
Rencana pengurangan emisi Holcim sesungguhnya jauh tertinggal dari apa yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat. Oleh karena itu, perusahaan Swiss ini, tidak hanya memikul tanggung jawab historis atas krisis iklim yang terjadi saat ini, tetapi juga memikul bagian dari tanggung jawab pemanasan global di masa depan dan untuk dampak yang akan disebabkan oleh perubahan iklim di tahun-tahun dan dekade-dekade mendatang. Termasuk di Pulau Pari.
Atas beban dan dampak yang nyata dihadapi oleh warga Pulau Pari, melalui empat perwakilan warga ini menuntut Holcim untuk bertanggung jawab atas ancaman keselamatan warga Pulau Pari dan mengganti kerugian sebagai kompensasi atas kerusakan material. Selanjutnya, dalam gugatannya warga juga menuntut Holcim untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya sebesar 43% (empat puluh tiga persen) pada tahun 2030 dan 69% (enam puluh persen) pada tahun 2040. Holcim juga dituntut wajib menanggung biaya tindakan mitigasi perubahan iklim yang diperlukan di Pulau Pari. Ini termasuk penanaman bakau dan/atau pertahanan banjir.
Dukung Edi, Arif, Asmania, dan Bobby dalam perjuangan mereka untuk keadilan iklim. Tanda tangani banding mereka ke Holcim. https://callforclimatejustice.org/id/penggugat/
Narahubung:
Puspa Dewy, Kepala Divisi Kajian Hukum Lingkungan Walhi Nasional – di.ro.ihlaw@ywedapsup
Parid Ridwanuddin, Pengkampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional – di.ro.ihlaw@niddunawdir.dirap
Mustagfirin, Ketua Forum Peduli Pulau Pari (FP3) – 085781619276